Bentuk-Bentuk Sraddha

Bentuk-Bentuk Sraddha


Bab ketujuh belas dari Bhagavadgita berjudul sraddhat-rayavibhagayoga (tiga lapis bagian sraddha). Bab mi diawali dengan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh Arjuna mengenai kedudukan (nistha) manusia yang seharusnya mentaati sraddha tetapi mengabaikan perintah dan larangan sastra, sadar atau tidak sadar. Persoalan yang menguji pemikiran Arjuna itu tertulis pada dua baris terakhir syair pada bab sebelumnya yang menetapkan:

Yah sastravidhim utsriya vartate kamakaratah Na sa siddhim avapnoti na sukham na param gatim Akan tetapi ia yang melanggar hukum yang tertulis pada kitab suci dan bertindak berdasarkan denyut hasratnya sendiri, tiada memperoleh kesempurnaan maupun kebahagiaan apalagi mencapai tujuan tertinggi. Tasmae chastram pramanam te karyakaryayavasthitau Jantva sastravidhanoktam karma kartum iharhasi Oleh karenanya, jadikanlah kitab suci sebagai kekuatanmu dalam menentukan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan, Setelah memepelajari hukum-hukum kitab suci hendaklah kamu bekerja di dunia ini.
Bab keenambelas Bhagavadgita, dua syair terakhir yang dikutip di atas berkaitan dengan daivi sampat (kelompok dewa) dan asuri sampat (kelompok iblis). Daivi sampat dijelaskan di sana sebagai yang terutama terdiri dari jnanayogacyacasthitih, yang dijelaskan oleh Sankara sebagai persembahan dalam bentuk pengetahuan yang diperoleh dari berbagai kitab suci dan guru; sementara asuri sampat dijelaskan sebagai yang memegang sikap bahwa dunia tanpa kebenaran, tanpa dasar dan tanpa Tuhan. Selanjutnya, orang-orang dalam dunia asuri dikatakan mengetahui 'baik dalam tindakan maupun dalam diam: mereka angkuh, keras-kepala, dipenuhi kesombongan dan tamak akan kekayaan; mereka menghaturkan persembahan dalam jumlah nominal, tidak sesuai dengan hukum (avidhipurvakam) melainkan dengan kemunafikan. Sehingga, ditetapkan bahwa barang siapa yang menyangkal ajaran kitab suci dan bertindak berdasarkan hasratnya, tidak akan memperoleh kesempurnaan dalam yoga, yang adalah pengorbanan. Lalu Arjuna bertanya, pada bait pertama bab ketujuhbelas, pilihan lain sebagai pokok perdebatan, la berfikir bahwa orang-orang yang seharusnya dibentuk oleh sraddha melainkan tidak mengetahui sastravidhi dan mengabaikannya. Bagaimana mereka dijelaskan? Apakah mereka bagian dari daivi sampat atau asuri sampat? Apakah mereka dibentuk untuk keselamatan ataukah belenggu?
ye sastravidhim utsriya yajante sraddhayanvitah Tesam nistha tu ka krsna sattvam aho rajas tama Terjemahan: Barangsiapa yang hidup diluar perintah kitab suci, yang melakukan persembahan dengan sraddha - di manakah kedudukan mereka Oh, Krsna, apakah salah satu dari sattva (kebaikan), rajas (hasrat) ataukah tamas (kegelapan)? Bh.G.XVII, I.
Menjelaskan syair ini, Madhu-sudana Sarasvati mengacu kepada tiga kemungkinan logis mengenai persoalan yang diperdebatkan:
  1. barangsiapa yang mengetahui sastravidhi dan mentaatinya dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan, mereka memiliki baik sraddha maupun kepatuhan terhadap sastravidhi. Orang semacam ini termasuk dalam daivi sampat, mereka adalah para sattvika,
  2. barang siapa yang mengetahui sastravidhi, namun menentangnya dengan kekerasan dan kemalasan, berfikir bahwa tidak ada ganjaran atas tindakan tersebut; mereka tidak memiliki sraddha ataupun mentaati sastravidhi, mereka bertindak berdasarkan rajas dan tamas. Mereka adalah asura. Mereka tidak pernah menerima keselamatan (VXI, 20),
  3. pertanyaan Arjuna mengacu kepada jenis pribadi lainnya: mereka yang mengabaikan sastravidhi namun taat pada sraddha. Mereka menjalankan ritual serta upacara keagamaan secara mekanis seperti anak-anak yang meniru orang tuanya (vrddhavyavaharanusarena) - tidak sepenuh jiwa dan kebenaran. Pertanyaannya kini adalah, haruskan orang-orang dalam kriteria ini disebut pengikut daivi sampat karena mereka mengikuti sraddha, ataukan pengikut asuri sampat karena mengabaikan sastravidhi?
Inti persoalannya di sini adalah apakah sraddha memungkinkan untuk dilaksanakan dengan pengabaian atau pemberontakan terhadap sastravidhi. Hal ini sangatlah penting karena persoalan keyakinan atau yang lain dari Bhagavadgita tergantung pada jawaban pertanyaan ini. Pertanyaan ini cukup rumit karena dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Apa dasar hubungan antara sraddha dan sastravidhi? Apakah keduanya mendukung secara inklusif, eksklusif ataupun secara bersama-sama keduanya? Bilamana seseorang menjalankan bentuk sastravidhi dan tidak mendalami jiwanya, apakah kemudian dia menemukan sraddha? Di lain hal, bilamana seseorang menentang bentuk-bentuk sastravidhi, tetapi mendalami jiwa sastravidhi tersebut - lalu apakah orang itu tidak menemukan sraddha? Apakah perbedaan antara sraddha dan upacara? Apakah tujuan upacara menentukan keberadaan sraddha? Apakah sraddha sebuah bentuk yang seragam dan statis? ataukah individual dan dinamis? Adakah bentuk-bentuk lain dari sraddha? Dan seterusnya; implikasi pertanyaan Arjuna menjadi sangat banyak dan susah dimengerti. Kenyataannya, Arjuna sungguh tidak menyadari dampak pertanyaan tersebut. Ia mengajukan pertanyaan ini oleh sebab ia tidak mengetahui jawabannya; ia bingung, dan mencari pencerahan. Sehingga tidaklah tepat mengupayakan untuk menetukan bentuk sraddha dan hubungannya dengan sastravidhi berdasarkan syair pertama itu sendiri karena tidak memungkinkan untuk menentukan sifat sesuatu berdasarkan sebuah pertanyaan saja. Meskipun demikian, kita bisa dan harus berpatokan dari pemikiran awal yang mendasari pertanyaan Arjuna. Apa yang mengganggu pikiran Arjuna dapat dikatakan sebagai bentuk keadaan bimbang atau dilemma. Di satu sisi, kitab suci sangat sulit untuk dimengerti. Tidaklah mudah untuk menemukan para ahli yang bisa mengajar sastra. Orang-orang kebanyakan tidak diberkati dengan ketajaman, penglihatan dan kemurnian intelektualitas. Namun demikian, mereka masih melaksanakan sraddha misalnya: upacara, amal, dan seterusnya; tetapi adalah jelas bahwa tanpa kepatuhan terhadap sastravidhi, pembebasan tidak mungkin dicapai (XVI, 25). Lalu pertanyaannya, bagaimanakah kedudukan orang-orang ini? Apakah mereka para penganut kepercayaan yang buta atau peniru? Apakah tindakan mereka tak berarti? Jenis atau kualitas sraddha apa yang mereka jalani? Apakah sattva, rajas, ataukan tamas? Di sisi lain, beberapa perorangan atau kelompok pada waktu tertentu dalam perjalanan hidupnya ataupun dalam sejarah mungkin menemukan kekuatan sastra tidak cukup bagi kebutuhan mereka, untuk kebutuhan seiring waktu dan pertumbuhan rohani. Mereka berupaya untuk mengabaikan atau menolak aturan kuno dan pergi mencari pemikiran yang lebih dalam dan utama. Apakah sumber yang menuntun dan menginspirasi mereka? Bagaimanakah kedudukan mereka? Apakah mereka termasuk sattvika, rajasa, ataukah tamasa? Intinya: apakah sraddha sejalan dengan pemberontakan terhadap sastravidhi? Dengan kata lain, apakah kepercayaan terhadap kekuasaan kitab suci merupakan hal penting dalam sraddha? Jawaban yang ditawarkan untuk pertanyaan Arjuna adalah jawaban yang panjang dan melibatkan pemikiran seseorang; seluruh tujuh belas bab harus dipertimbangkan sebagai sumber jawabannya. Dan pada inti bab tersebut, konsep sraddha dikembangkan dan dimurnikan dengan menemukan manfaat bentuk samkhya, khususnya guna prakrti yakni sattva, rajas dan tamas. Ketiga bentuk sraddha dipisahkan menurut kekuatan seseorang atau guna lainnya pada manusia. Beberapa pemikiran sraddha yang terdahulu dianalisa dan diuji; yang tidak memadai dikelompokkan dalam bentuk rajasi dan tamasi sraddha. Dan gagasan Gita dalam sraddha terbentuk sebagai sattviki sraddha, yang dipandang selalu harmoni dengan aturan sastra, yang dalam hal ini Bhagavadgita sendiri. Akhirnya, hubungan yang saling mendukung diantara sraddha dan sastravidhi tercapai tanpa sraddha, pelaksanaan ritual religius yang mekanis itu tidaklah bermanfaat; dan tanpa kepatuhan terhadap sastravidhi, sraddha bukanlah sraddha samasekali; melainkan egoisme dan kemunafikan. Dua syair berikut ini adalah kunci jawaban pertanyaan mengenai persoalan ini:
Teks: trividha bhavati sraddha dehinam sa svabhavaja sattviki raajasi caiva tamasi ceti tam srnu. Terjemahan : daripada ketiga unsur ini adalah pembentuk sraddha, yang terlahir dalam sifat seseorang, menjadi sattviki, rajasi dan tamasi, camkanlah hal ini.
disebutkan bahwa Craddha terbentuk dari tiga laipsan. Yang terlahir dari svabhava individual atau sifat tersembunyi dari manusia; yang tidak dapat diatur atau dipengaruhi oleh hal diluarnya. Sraddha dihasilkan oleh kecenderungan (samskara) yang diakibatkan oleh tindakan seseorang di kehidupannya atau di kehidupan yang lalu. Dibawah pengaruh kecenderungan inilah individu didominasi oleh seseorang atau guna prakrti lainnya. Demikianlah menurut kualitas individu masing-masing, sraddha adalah ketiganya yaitu: sattviki, rajasi atau tamasi. Dan tindakan setiap individu mencerminkan karakteristik yang berkaitan. Misalnya, bilamana sattva guna mendominasi sifat seorang manusia, ia Memiliki sattvika sraddha; dia murni dan penuh kebaikan. Dia mengharapkan pencapaian keselamatan. Bilamana rajas yang mendominasi, maka orang tersebut memiliki rajasi sraddha dan dia mengejar kesenangan duniawi dan bekerja keras untuk hal-hal terbatas dan tujuan pribadi semata. Apabila tamas yang mendominasi, maka dia memiliki tamasi sraddha; seorang manusia tamasa tidak memiliki gagasan mengenai tujuan spiritual yang pasti ataupun menginginkan suatu pencapaian. Tamasi sraddha sesungguhnya adalah sikap bertentangan dari sraddha. Pendek kata, tiga jenis sraddha diwarnai oleh pengaruh guna didalam setiap manusia. Demikianlah kecenderungan seseorang terhadap sebuah tujuan hidup dan sifat seseorang untuk mengikuti jalan yang tepat untuk meraih tujuan tersebut terpola oleh kualitas keadaan alamiahnya.
Teks : sattvanurupa sarvasya sraddha bhavati bharatasraddhamayo'l puruso yo yac chraddah sa eva sah Terjemahan : Menurut sifat dasar setiap orang, Oh Bharata, dalam sraddha yang dianutnya, seorang manusia dibentuk oleh sraddha-nya sendiri. Sesungguhnya dirinya adalah cerminan sraddha-nya sendiri.
menjelaskan bahwa tidak hanya sraddha yang terlahir dari sifat manusia melainkan juga bahwa manusia adalah sraddhamaya; sraddha adalah prinsip pokok dari eksistensi manusia. Sraddha adalah isian dari mahluk individual. Sraddha memperlihatkan sifat dan karakter manusia. Kebenaran yang dilihatnya, tujuan yang dicari dan jalan yang ditempuh, adalah ditentukan baginya oleh sraddha. Aktivitas yang berlangsung oleh individu adalah sesuai dengan jenis sraddha-nya. Sifat tindakan-tindakan ini menimbulkan akibat yang mempengaruhi kualitas sraddha. Jadi misalnya, seorang sattvika menginginkan perdamaian dan kebahagiaan dan pemujaan dewa-dewi serta mahluk nirwana yang baik. Seorang rajasa mencari kenikmatan material dan kekuatan dan pemujaan dewa tertentu dan raksasa untuk menjaga akhir hayatnya. Sedangkan mereka yang disebut tamasa ditenggelamkan oleh pemujaan orang mati dan hantu-hantu, berlawanan dengan perintah kitab suci:
Asastravihitam ghoram tapyante y e tapo janah Dambhahamkarasamyuktah kamaragabalanvitah Karyasayantah sarirastham bhutagramam acetasah Main caivantahsarirastham tan viddhy asuraniscayan Merekalah manusia yang munafik dan angkuh, yang didorong oleh kekuatan hasrat dan nafsu, melekatkan diri kepada kekuatan jahat yang tidak didasari oleh kitab-kitab suci; orang-orang konyol, itulah mereka, yang menyiksa organ tubuh mereka, dan Aku juga, yang berdiam didalam tubuh itu mengetahui keiblisan macam apa yang mereka persekutukan. (Bh. G. XVIII. 5-6)
Ramanuja menyatakan bahwa kedua syair ini (lima dan enam) membentuk jawaban pasti untuk pertanyaan pokok Arjuna. Dia menggunakan itu untuk menunjukkan bahwa mereka yang menentang ajaran kitab suci, sadar atau tidak, hanyalah berpura-pura mempunyai sraddha, sesungguhnya mereka tidak memiliki sraddha. Mereka adalah asura. Gita menegaskan bahwa jenis atau kualitas sraddha menemukan ekspresi yang saling berhubungan dalam jenis upacara, persembahan korban, derma, dan lain-lain, aspek-aspek yang berbeda dalam kehidupan religius. Gita juga menganalisis dan menguji setiap fenomena dalam kaitannya dengan kualitas dan nilai apakah itu sattviki, rajasi atau tamasi. Gita cenderung merangkum semua dan mendiskusikan seluruh elemen yang bernilai kedalam pengungkapan ini dan mengintegrasikan mereka dalam doktrin tindakan pengosongan diri yang dipersembahkan bagi Tuhan, yang disebut sattvika, tindakan ekspresif dari sattviki sraddha. Elemen-elemen yang tidak cocok dengan ajaran Gita dianggap tidak sesuai atau pastinya berbahaya bagi kehidupan religius. Mereka direndahkan ditingkat yang inferior sebagai bentuk rajasi sraddha atau ditetapkan sebagai ajaran berbahaya, bentuk tamasi sraddha. Hanya sattviki sraddha dikatakan dapat membuka jalan untuk tujuan tertinggi mahluk hidup; sattviki sraddha juga serasi dengan sastravidhi. Dua jenis yang lainnya jelas tidak cocok dengan sastravidhi. Marilah kita mengambil contoh dari yajna (persembahan korban) untuk menjelaskan mengenai metode penyucian konsep sraddha yang diadopsi oleh Gita. Kita telah melihat bahwa yajna didalam Gita bermakna 'persembahan berupa milik dan kebaikan seseorang sebagai wujud kasih kepada Tuhan'; hal ini merujuk kepada persembahan korban secara umum atau segala jenis tindakan kebaikan. Dan lagi, yajna tidak dilakukan untuk suatu hasil yang dicapai seseorang, melainkan semata-mata karena sifat pengikut sattviki memancarkan pengetahuan tindakan illahi dan menghadirkan Tuhan untuk ikut berkarya didalam mereka. Pendek kata, Bhagavadgita melihat yajna sebagai tindakan kebaikan yang berawal dari penyerahan diri kepada kehendak Tuhan.
vidhihinam asrstannam mantrahinam adaksinam sraddhavirahitam yajnam tamasam paricaksate Terjemahan : Pengorbanan vang tidak berdasar pada ajaran kitab suci, dan tiada makanan yang dipersembahkan, dimana tidak ada kidung mantra suci, tiada punya bagi pendeta, dan yang tanpa sraddha, itulah yang disebut (Bh. G. XVII. 13)
Adalah hal yang menarik bahwa tamasa yajna disebut sraddhavirahita; hal itu adalah peniadaan sraddha. Hal sama menariknya dengan bahwa tamasa yajna disebut vidhihina, meniadakan perintah kitab suci. Tamasa yajna pun tidak memiliki nilai kesucian karena tidak ada mantra suci yang dikidungkan ataupun persembahan kepada para pendeta. Pada syair yang ditampilkan sraddhavirahita menunjukkan tidak adanya niat untuk melaksanakan yajnakarma disamping juga kurangnya keyakinan dalam kekuatan yajna tersebut. Teks tersebut juga menunjukkan tidak adanya keinginan untuk pencapaian tujuan spiritual dari pihak pelaksana upacara korban tersebut. Saat seseorang tidak memiliki sraddha dalam yajna untuk menyelamatkannya pada akhirnya, orang tersebut tidak sepenuh hati dalam pelaksanaan upacara tersebut. Bilamana pun dia tetap melakukannya, dia akan melakukannya dengan berbagai alasan pribadi. Satu-satunya faktor yang menuntun adalah praktis dari segala cara. Orang itu tidak peduli dengan tata cara ataupun rincian upacaranya. Dia hanya melaksanakan upacara secara mekanis dibawah tekanan sejumlah dorongan yang tidak berarti. Tamasa yajna berbeda dari sattvika yajna yang dilaksanakan 'sesuai dengan ajaran kitab suci, dengan perasaan berkewajiban dan tanpa hasrat terhadap imbalan' dan dari rajasa yajna yang dilaksanakan dengan 'harapan atas imbalan dan demi sebuah pertunjukkan' meskipun secara formal sesuai dengan aturan sastravidhi. Pendek kata, implikasi sraddha pada teks (4) dapat dinyatakan: tamasi sraddha sangat miskin oleh pemahaman mengenai tujuan spiritual yang mutlak, hal ini mencerminkan sebuah keadaan pikiran yang kacau. Tamasi sraddha kurang keyakinan terhadap jalan yang ditempuh; tepatnya terseret. Tamasi sraddha tidak memiliki nilai religius yang pasti.
Text: sraddhaya paraya taptana tapas t at trividham naraih aphalakanksibhir yuktaih sattvikam paricaksate Terjemahan : Tiga tingkat aturan ini yang dilaksanakan dengan sraddha tertinggi oleh manusia yang mengatur dirinya, tanpa mengharapkan imbalan, disebut sattvika. (Bh. G. XVII. 17)
Syair ini menggambarkan sattvika tapas yang adalah bentuk satvikki sraddha. Tapas atau menahan diri adalah sebuah jenis usaha rejilius penting yang sering dikaitkan dengan sraddha didalam Upanishad.
Source | Google Images | Youtube

TAG: Tech, tech, apple, windows, bootstrap, html5, css3, javascript, responsive, design, branding, logo, graphic, desain, love, artwork, graphics, computer, indirabali

Comments